Paradigma Gender Dalam Surat An-Nur

Paradigma Gender Dalam Surat An-Nur
Mewujudkan Harmoni dalam Relasi

Penulis: Salsabilah

Salah satu isu kontemporer yang cukup banyak menyita perhatian berbagai kalangan adalah persoa-lan tentang gender. Di antara maksud dari perkembangan wacana itu sendiri ditujukan untuk memutus ketidakadilan sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin untuk kemudian mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada aspek sosial lainnya. Dengan masuknya wacana ini pada wilayah keislaman, maka para intelektual Muslim sejatinya tidak dapat begitu saja mengisolir diri dengan mengabaikan pembacaan wacana ini. Gender nyatanya bukan sekedar kata atau istilah, melainkan sebuah konsep yang sarat nilai dan mengandung misi, filosofi serta ideologi.

Para pengusung dan pendukung kesetaraan gender rupanya seringkali mempersoalkan hukum Is-lam yang dianggap kurang adil dalam memposisikan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu ada klaim yang terkesan tendensius bahwa karya-karya keagamaan banyak ditulis oleh teolog, Ulama’ dan mufassirin dari kalangan laki-laki sehingga menghasilkan karya yang kental akan bias gender, lalu disimpulkan kepada perlunya upaya merekontruksi kembali hukum agama berkaitan dengan kehidupan perempuan serta relasinya dengan laki-laki.

Buku ini ditulis sebagai sumbangsih dalam merespon perguliran isu berkenaan dengan relasi gender dalam Al-Qur’an. Untuk itu, penulis melakukan pengkajian terhadap karya Abdurrahim Faris Abu ‘Ulbah yakni kitab Tafsīr Sûrat An-Nûr. Sebab berdasarkan pengamatan penulis, Ab-durrahim Abu ‘Ulbah berhasil mendudukkan landasan yang tegas soal bagaimana seharusnya seorang Muslim merespon isu kontemporer dengan tetap berpegang kepada pedoman kehidupann-ya, dan yakin sepenuhnya bahwa Al-Qur’an merupakan solusi atas berbagai permasalahan ke-hidupan manusia. Sebaliknya, seorang muslim tidak seharusnya tenggelam dalam perdebatan pan-jang yang tidak berujung dan terjebak dalam arus pemikiran yang justru semakin menjauhkan kaum Muslim dari identitas agamanya sendiri. Ciri khas yang penulis dapat dari penafsiran Abu ‘Ulbah adalah konsistensinya dalam mendudukkan kacamata syari’at di atas berbagai teori dan konsepsi yang berkembang di masyarakat. Hal ini menjadi penting untuk dikemukakan, sebab sejatinya seorang Muslim mesti kembali pada pedoman hidupnya sendiri sebelum beralih pada yang lain.